Selasa, 16 Juni 2015

Etika Bermasyarakat

ETIKA DALAM BERMASYARAKAT

Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” dalam bentuk tunggal yang berarti kebiasaan. Etika merupakan dunianya filsafat, nilai, dan moral yang mana etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk.  Dapat disimpulkan bahwa etika adalah:
Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan terutama tentang hak dan kewajiban moral.
Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
Nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Bagaimana etika dalam bermasyarakat ?
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya etika adalah suatu nilai yang berkenaan dengan akhlak .  dan dapat disimpulkan etika sebagai nilai – nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dan tentunya etika menjadi pembeda pula antara manusia dengan hewan, lewat fungsi makhluk sosial dan individual.  Sebagai  makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Tentunya tidak lepas dari berhubungan dengan orang lain, dalam hal ini etika menjadi posisi yang dimiliki seorang individu yaitu sebagai nilai – nilai dan norma yang menjadi pegangan dalam bertingkah laku. Seperti etika berbicara, berkendaraan, berkunjung dan banyak lagi yang lainnya.  Sebagai manusia umumnya membutuhkan orang lain untuk berbicara, berteman, maka untuk dapat diterima oleh orang lain harus memahami dan mengaplikasikan etika dalam pergaulan, misalnya dalam tata cara berbicara, maka bicaralah dengan tenang, jelas, tidak memotong pembicaraan orang lain, pakailah bahasa yang dapat dipahami oleh lawan bicara, tidak memonopoli pembicaraan.

Contoh hukum pidana dan perdata yang berhubungan dengan etika bicara dalam bermasyarakat

Contoh kasus jika dihina di depan orang banyak, perkataan seperti 'hewan' atau 'bangsat' yang diucapkan oleh orang lain terhadap Anda di depan banyak orang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penghinaan. Penghinaan yang dilakukan terhadao Anda tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang berbunyi:

“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Menurut R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, untuk dapat dikatakan sebagai penghinaan ringan, maka perbuatan itu dilakukan tidak dengan jalan “menuduh suatu perbuatan”. Penghinaan yang dilakukan dengan “menuduh suatu perbuatan” termasuk pada delik penghinaan (lihat Pasal 310 KUHP) atau penghinaan dengan tulisan (lihatPasal 311 KUHP). Penghinaan yang dilakukan dengan jalan selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “bajingan” dan sebagainya, dikategorikan sebagai penghinaan ringan.

Selain itu, terhadap perbuatan penghinaan tersebut, Anda juga dapat meminta ganti rugi materiil melalui gugatan perdata. Dari sisi hukum perdata, dengan bukti adanya putusan yang berkuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) mengenai pidana dimaksud, dapat diajukan gugatan perbuatan melawan hukum yang didasarkan pada ketentuanPasal 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dikutip sebagai berikut:

“Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.”

Terkait hal itu, di dalam artikel Penghinaan, dijelaskan antara lain bahwa doktrin hukum tentang penghinaan di Indonesia tidak memisahkan antara opini dengan fakta dan juga tidak mempertimbangkan sama sekali kebenaran sebuah fakta. Asalkan sebuah pernyataan dianggap menghina oleh korban, maka unsur kesengajaan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal sudah dapat terpenuhi. Selain itu, berdasarkan pendapat MA melalui putusan No. 37 K/Kr/1957 tertanggal 21 Desember 1957 yang menyatakan bahwa tidak diperlukan adanya animus injuriandi (niat kesengajaan untuk menghina).  

sumber :
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt507cb3304d8ae/jika-dikatai-bangsat-di-depan-orang-banyak
http://www.globethics.net/documents/4289936/13403252/Focus_7_online.pdf/2b69e301-09aa-45d7-8d06-07f6b9650dcc
http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._KESEJAHTERAAN_KELUARGA/194608291975012-ARIFAH/2002__Peranan_Etika__8_Juli_2002_.pdf